Review Film: 'Spider-Man: Into the Spider-Verse' (2018)
Film ini memberikan pengalaman menonton yang tak kita dapatkan dari film-film Spider-Man yang sudah-sudah.
“One thing I know for sure: don't do it like me. Do it like you.”Rating UP:
— Peter Parker
Memang baru hampir dua dekade, tapi rasa-rasanya kita sudah menonton terlalu banyak versi film Spider-Man. Entah dengan anda, tapi saya mulai jenuh. Solusi yang diberikan oleh Hollywood? Satu lagi film Spider-Man dengan lebih banyak Spider-Man. Okesiyap.
Biasanya saya akan meradang, tapi Spider-Man: Into the Spider-Verse ternyata berhasil membuat saya kegirangan selama menonton. Film ini sukses menyuguhkan sesuatu yang baru di era sinema yang sudah sesak dengan film superhero. Sungguh menyenangkan menyaksikan film yang berani dan asyik bermain-main dengan formula, alih-alih menyajikan sesuatu yang begitu-begitu saja. Ia memanfaatkan mediumnya dengan maksimal, sehingga memberikan pengalaman menonton yang tak kita dapatkan dari film-film Spider-Man yang sudah-sudah.
Film ini merupakan film animasi, yang mana membuat banyak pilihan kreatif terbuka lebar. Apa pun bisa terjadi. Dan memang begitulah akhirnya; Spider-Verse mendorong dirinya untuk keluar dari batasan. Sekuens aksi hadir dengan koreografi menarik, gerak kamera hiperaktif, dan sudut pengambilan gambar unik yang barangkali hanya bisa dilakukan lewat film animasi.
Saya mau tak mau harus menggunakan istilah "comic book movie". Bukan saja karena filmnya merupakan adaptasi buku komik, melainkan juga karena sensasinya serasa menonton buku komik.
(((menonton buku komik)))
Dalam hal ini, Sony Animation melewati pencapaian The Peanuts Movie-nya BlueSky dan Captain Underpants-nya Dreamworks. Estetika visualnya semacam gabungan antara animasi 2D dengan 3D. Pergerakan karakter dibuat agak patah-patah, dan pewarnaannya memakai skema warna solid yang cerah. Saat Spider-Man utama kita mendapatkan kekuatannya, semestanya seketika jadi komik banget. Panel dan kotak dialog bermunculan; efek suara hadir di latar belakang di sela adegan aksi. Dan yang menghidupkan ini semua tidak lain dan tidak bukan adalah kreator The Lego Movie, duo Phil Lord & Christopher Miller yang dalam hal ini dibantu oleh sutradara Bob Persichetti, Peter Ramsey, dan Rodney Rothman.
Namun mereka tak berhenti disana. Lord yang juga menulis skrip bersama Rothman juga nekat untuk membawa cerita mereka ke sudut yang barangkali terlalu gila untuk diadaptasi dalam format live-action. Siapa coba saat ini yang berani menjelajah interkonektivitas berbagai superhero alternatif dari dimensi yang berbeda? Yang saya kagum, saya awalnya tak begitu kenal dengan berbagai karakter ini (sebagaimana yang anda tahu, saya adalah sosialita hedon yang doyan hangout daripada baca komik, sehingga pastinya bukan pakar Spider-Man), tapi saya tetap ikut terbawa hanyut dalam keseruan petualangan mereka.
Yang pertama dan paling utama adalah Miles Morales (Shameik Moore), remaja tanggung yang canggung menjalani kehidupan remajanya. Sang ayah (Brian Tyree Henry) yang adalah seorang polisi, berharap banyak kepada Miles dengan memasukkannya ke sekolah swasta. Namun, ia agaknya lebih menikmati hangout bersama sang paman (Mahershala Ali) yang lebih selow.
Saat sedang mencoreti dinding dengan grafiti bersama sang paman, Miles tiba-tiba digigit laba-laba radioaktif. Apa akibatnya, kita semua sudah tahu. Namun Miles masih ragu; apa betul ia sekarang punya kekuatan super yang sama seperti sang pahlawan kota? Sebelum Miles tahu jawabannya, Spider-Man asli alias Peter Parker tewas di depan matanya akibat hantaman Kingpin (Liev Schreiber).
Tapi apa benar begitu? Sembari beradaptasi dengan kekuatan barunya, Miles kemudian berjumpa dengan... uhm, Spider-Man? Ia adalah Peter Parker luar dalam (disuarakan oleh Jake Johnson), hanya saja sudah paruh baya, lebih sinis, sangat bokek, dan punya gelambir perut khas oom-oom. Apa yang terjadi?
Rupanya ini gara-gara Kingpin yang menggunakan mesin kuantum. Akibatnya, dimensi yang berbeda saling berbenturan dan berbagai macam Spider-Man berkumpul di satu tempat. Mereka diantaranya si Spider-WomanGwen Stacy (Hailee Steinfeld); jagoan anime Peni Parker (Kimiko Glenn) dengan robotnya SP//dr; si Spidey detektif yang hitam putih, Spider-Noir (Nicolas Cage); serta Spider-Ham (John Mulaney), yang sesuai namanya dan penampilannya, merupakan babi Spidey yang seolah berasal dari kartun Looney Tunes.
Iya, ada terlalu banyak Spider-Man di satu film. Namun Spider-Verse tak membuatnya terasa begitu. Asyik melihat mereka semua, dan bagaimana mereka menceritakan origin mereka (yang klise, iya, dan mereka tahu ini kok) menjadi humor tersendiri. Para Spidey ini mendapat momen masing-masing. Pembuat filmnya cukup pintar menggunakan ini untuk menyuguhkan lelucon meta, self-reference, dan inside jokes. Ada lagi beberapa karakter yang sudah familiar, diantaranya Mary Jane (Zoe Kravitz), Bibi May (Lily Tomlin), dan Doc Oc (Kathryn Hahn).
Meski dengan banyaknya karakter dan konsep ambisiusnya yang nanti makin ribet, film ini tetap mampu menemukan fokus. Film ini masih setia pada filosofi dasar Spider-Man: "with great power comes great responsibility". Terutama lewat dinamika hubungan antara Miles dan Peter paruh baya, ia sukses menggarisbawahi apa yang membuat Spider-Man spesial, yaitu bahwa semua orang bisa menjadi seperti Spider-Man. Anda pun bisa. Saya tak ingat kapan terakhir kali sebuah film superhero bisa membuat saya tergugah dengan heroisme yang relatable seperti ini.
Into the Spider-Verse sungguh menyenangkan ditonton. Filmnya seru, asyik, dan intim. Leluconnya cerdik. Sekuens aksinya inventif. Animasinya inovatif. Soundtrack-nya enak didengar dan nempel banget dengan film. Film ini bisa melakukan apa yang tak terbayangkan bisa dilakukan oleh film versi live-action. Sebuah film Spider-Man dengan paket komplit. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Spider-Man: Into the Spider-Verse' (2018)"
Posting Komentar