Review Film: 'BlacKkKlansman' (2018)
'BlacKkKlansman' adalah film selow yang penting di jaman serba-cepat-panas seperti sekarang ini.
“With the right white man, we can do anything.”Rating UP:
— Ron Stallworth
BlacKkKlansman adalah film selow yang penting di jaman serba-cepat-panas seperti sekarang ini. Bukan cuma di Amerika dimana masalah rasisme sudah berakar dalam, melainkan juga dimana pun tempat terjadinya pertentangan antara dua ideologi ekstrim. Identitas itu absolut. Kalau bukan hitam, yaa putih; kalau bukan pribumi, yaa aseng; kalau bukan cebong, yaa kampret. Harus salah satu, dan tak bisa berada di tengah-tengah. Bicara soal keabsolutan identitas, film terbaru dari Spike Lee ini bercerita tentang seorang kulit hitam yang menyamar sebagai seorang kulit putih serta seorang kulit putih yang menyamar sebagai kulit hitam yang menyamar sebagai kulit putih.
Nah lho.
Kalau itu belum cukup absurd, tunggu sampai anda tahu bahwa film ini diangkat dari kisah nyata. Ceritanya diadaptasi dari memoir Ron Stallworth mengenai usahanya menginfiltrasi Ku Klux Klan (KKK) demi mencegah aksi terorisme. KKK atau kerap disederhanakan sebagai The Klan adalah kelompok ilegal rasis yang percaya bahwa ras kulit putih adalah ras terbaik dan semua selain ras kulit putih layak dibasmi. Sementara Ron adalah seorang polisi kulit hitam, yang profesinya saja sudah ramashook sama KKK, apalagi warna kulitnya.
Spike Lee membawa cerita yang absurd ini menjadi komentar sosial sampai ke titik komikal yang memancing kita untuk ketawa. Ketawa getir. Film ini menjadi film soal rasisme yang kocak tapi juga merupakan salah satu yang paling efektif dari semua film-film Lee. Mengkritisi tentang sesuatu tak harus selalu lewat marah-marah.
Ron Stallworth adalah polisi kulit hitam pertama di Departemen Kepolisian Colorado. Dan ingat, ini adalah Amerika tahun 70an; menjadi manusia kulit hitam saja sudah dipandang miring, boro-boro jadi polisi kulit hitam. Ini membuatnya jadi spesial dan sangat mencolok. Terlebih dengan rambut afronya yang gak tanggung-tanggung. Jadi tentu saja bakal ada yang mengolok-olok atau mencelanya. Namun, saya juga menyukai fakta bagaimana kepala polisi (Robert John Burke) yang suka ngomong blak-blakan soal warna kulit Ron tapi tetap memperlakukannya secara profesional.
Ron terjebak bekerja di bagian administrasi, dimana tugasnya adalah menyortir dan menyediakan arsip bagi polisi lain yang membutuhkan, salah satu diantaranya sangat suka melontarkan komentar rasis. Ron akhirnya mendapat kesempatan terjun ke lapangan dalam misi penyamaran. Departemennya ingin menyelidiki potensi aksi anarkis di acara mahasiswa yang menampilkan aktivis kulit hitam bernama Kwame Ture (Corey Hawkins). Ron tak menemukan itu (kurang lebih), tapi ia berjumpa dengan ketua gerakan mahasiswa, Patrice (Laura Harrier).
Tantangan sebenarnya datang saat Ron iseng menelpon kantor KKK setempat. Mulutnya sungguh lihai mencaci maki rasnya sendiri, sampai Ron dipercaya begitu saja sebagai seorang kulit putih hingga diajak bergabung oleh anggota KKK. Bahkan lidah licinnya bisa membawanya menjadi sahabat
Saya harus bilang bahwa kelanjutannya tak sesensasional yang awalnya saya bayangkan. Tapi yaa secara akal sehat, ekspektasi saya memang sangat mission impossible. Meski KKK mungkin akan menerima apa saja jadi anggotanya asalkan memuja kulit putih—bahkan barangkali termasuk penghuni kebun binatang&mdash, mereka tentu tak sedungu itu mengidentifikasi warna kulit. Ron butuh "wajah" kulit putih. Untuk itu, ia bekerja sama dengan Flip Zimmerman (Adam Driver).
Saya sedikit kecele tapi tidak kecewa. Misi mereka ini tidak sensasional, tapi masih cukup pelik untuk dieksekusi sehingga tetap menarik untuk diikuti. Kita punya dua Ron; yang satu berupa imej yang langsung diperankan Ron Stallworth di seberang telepon, sedangkan satu lagi adalah Ron fisik yang diperankan Flip. Kenapa sih bukan Flip saja yang memerankan Ron biar misi bisa jadi lebih simpel? Bodo. Meski berkulit putih, Flip bukan berarti bebas melenggang begitu saja masuk KKK. Identitasnya sebagai seorang Yahudi bakal jadi sasaran empuk untuk dibantai. Ron dan Flip harus berkolaborasi dengan mantap biar identitas dual ini tak ketahuan.
Sebagian besar film, yang durasinya mencapai 2 jam lebih, hanya soal prosedural samar-menyamar tersebut. Namun berkat penceritaan yang cakap dari Lee, film ini tak pernah terasa membosankan. Lee bersama dengan tim penulis skripnya, bermain-main dengan materinya yang memang sudah absurd untuk menyelipkan banyak komedi gelap. Ada sensasi kocak nan getir saat menyaksikan seorang kulit hitam seperti Ron melakukan d**k stroking berupa komen rasis yang sangat vulgar demi mengeksploitasi kedunguan anggota KKK. Flip seringkali harus membuat pernyataan rasis yang spontan supaya bisa selamat dari berbagai situasi mendebarkan saat nongkrong bersama anggota KKK. Ada semacam keseimbangan antara suspense dengan komedi yang membuat film ini terasa ringan tapi tak kehilangan daya cengkeram.
Karakter Ron Stallworth diperankan oleh John David Washington, anak dari Denzel Washington yang kerap diajak main oleh Lee. Ia kuat dan tampak natural memerankan karakter yang, saya sebut, "mengawang-awang". Kita bisa merasakan bahwa ia adalah pria yang punya prinsip, tapi juga cukup dinamis untuk bisa membaur tanpa terasa mencolok. Tak ada yang bisa melakukan misi ini selain Ron. Adam Driver juga tampil luar biasa sebagai karakter inert yang cenderung simpatik. Film ini dengan bijak menghindari jebakan konflik klise yang tak perlu dengan menjadikan Flip sebagai karakter non-rasis.
Sebagai film bertema rasisme, BlacKkKlansman uniknya relatif bergerak tenang. Untuk menyentil isu, Lee memanfaatkan keberadaan karakter-karakter pendukung. Karakter Patrice menjadi cewek yang tak segampang itu untuk digebet Ron; ia punya pandangan yang lebih radikal dan komentar tersendiri soal film Shaft dan Cleopatra Jones yang dimafhumi Ron. Jasper Paakkonen mengintimidasi sebagai anggota KKK yang sangat parnoan sampai memaksa Flip menjalani tes kebohongan. Lalu, ada Topher Grace sebagai grandmaster KKK dalam karakter rasis yang paling paripurna: seorang rasis dengan pembawaan supersopan yang bahkan tak tahu kalau ia rasis.
Lee agaknya ingin membangkitkan kesadaran dengan cara yang santai, tapi sekiranya belum cukup, ia menyiapkan amunisi tambahan. Tambahan ini adalah dua sekuens yang tak berhubungan langsung dengan cerita tapi punya relevansi dengan tema. Yang pertama adalah sekuens pembuka yang menampilkan Alec Baldwin sebagai (semacam) tokoh masyarakat yang melontarkan monolog yang begitu rasis, bodoh, dan ofensif soal supremasi kulit putih, hingga anda merasa kurang saat ia tak bilang, "Make America great again". Yang berikutnya adalah sekuens penutup yang memperlihatkan potongan video dari tragedi Charlottesville pada Agustus 2017. Tragisnya lagi, ada komentar dari tokoh tertentu yang menegaskan bahwa isu soal rasisme di jaman sekarang sebetulnya tak jauh berbeda dibanding tahun 70an.
Memasukkan ini dalam sebuah film yang panas, misalnya saja seperti film Lee sebelumnya, Chi-raq, akan membuatnya terasa seperti kampanye maksa. Namun dengan menaruhnya dalam film yang minim oversentimentalitas seperti BlacKkKlansman, Lee mengajak kita untuk sadar dengan mandiri. Begitulah yang biasa dilakukan Lee dalam film-filmnya yang superior. Sebagai pencerita yang sangat terampil, ia mengajak kita berempati tanpa harus memihak. Kecuali dua sekuens tadi, Lee hanya sekadar menceritakan kisah karakternya. Ia tak berusaha menghakimi, melainkan hanya memberi perspektif menggunakan garis batas rasialis. Film ini barangkali memang punya amarah di dalam, tapi ia tak mencoba membenci. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'BlacKkKlansman' (2018)"
Posting Komentar