-->

Review Film: 'Bumblebee' (2018)

Akhirnya ada juga film 'Transformers' yang dibuat untuk manusia.

“You've got me.”
— Charlie Watson
Rating UP:
Bumblebee adalah film Transformers yang lebih kecil dan lebih tenang. Kualifikasi itu saja sudah membuatnya menjadi film Transformers yang lebih baik, sebab sebagaimana sudah kita pahami bersama, film-film Transformers biasanya sama seperti menyaksikan dan mendengar cekcok hebat suami istri yang melibatkan belasan perkakas dapur. Betul, standar yang dibuat oleh film-film sebelumnya begitu rendah, sehingga dengan hanya memberi ruang untuk bernapas, Bumblebee dengan mudah menjadi film Transformers terbaik sejauh ini.


Akhirnya ada juga film Transformers yang dibuat untuk manusia. Itu lho, makhluk yang benar-benar bisa berempati, alih-alih cuma menggilai orgi robot dalam kekacauan masal. Plotnya kali ini lebih sederhana dan gampang dimengerti. Sekuens aksinya koheren dan bisa diikuti. Dan karakternya terasa manusiawi. Termasuk karakter robot juga. Kadang hal yang sederhana bisa lebih nampol daripada yang rumit-rumit. Yang membuatnya saya jadi kepikiran: jangan-jangan Michael Bay dulu mengira bahwa kita terlalu pintar untuk semua yang sederhana, jadi ia menyuguhkan sesuatu yang kompleks. Terlalu kompleks untuk dicerna logika manusia awam. Duarrr! Mindblown!

Maka, kali ini saya yang manusia awam, untungnya diberikan cerita yang sederhana, yaitu mengenai seorang anak yang berteman dengan alien berwujud robot. Yaa, sebelas dua belas dengan Iron Giant-nya Brad Bird lah. Alien tersebut adalah seorang (?) Autobots bernama B-127. Diceritakan bahwa perang saudara antara ras Autobots dan ras Decepticon di planet Cybertron mengantarkannya ke planet bumi. Naasnya, ia malah terdampar di tempat latihan militer yang dikomandoi agen Burns (John Cena). Ditambah pula dengan kedatangan satu Decepticon yang memburunya, B-127 harus lari dalam keadaan terluka parah dan kehilangan modul suara.

Ia kemudian akan ditemukan oleh Charlie (Hailee Steinfeld), remaja 18 tahun yang masih berduka atas wafatnya sang ayah dan masih belum bisa menjalani kehidupan baru bersama suami baru ibunya. Charlie suka mengutak-atik mesin dan sangat ingin punya mobil sendiri, tapi sang ibu tak mau membelikannya. Saat menemukan mobil VW bobrok di bengkel sang paman, Charlie tentu saja membawanya pulang. Lha gimana, mending VW bobrok daripada gak punya mobil. Yang belum ia tahu, VW ini ternyata bisa berubah menjadi alien robot yang canggih. Setelah sedikit terkejut, Charlie lalu memberikannya nama "Bumblebee".

Nah, Bee yang kita lihat tak sebesar di film-film Transformers yang lalu. Dulu saya kepikiran bagaimana mobil Camaro yang ramping bisa bertransformasi jadi robot sebesar Bee. Sekarang masuk akal membayangkan Bee versi baru ini berasal dari mobil VW. Transformasinya juga tak instan-instan amat. Kita relatif bisa menikmati tahapannya. Dan itu, menurut saya, adalah salah satu hal yang cukup penting; namanya film Transformers yaa harusnya soal... uhm... transforming dong.

Ba dum tss.

Kita tidak perlu sumringah karena para robot saling menghantam satu sama lain. Kita sudah bersukacita karena kita melihat kendaraan berubah menjadi robot. Namanya juga film yang diangkat dari mainan Hasbro, Transformers sebetulnya memang relatif ditujukan untuk anak-anak; pecinta serial kartunnya pasti sepakat dengan saya. Bumblebee meredam apa-apa yang berlebihan dari film sebelumnya. Tak ada lagi heroisme lebay atau overseksualisasi wanita. Maaf ya penonton remaja yang baru puber. Alih-alih, yang kita dapat adalah kisah persahabatan yang hangat dan sense of wonder.

Film ini, yang skripnya ditulis oleh Christina Hodson, relatif hanya menyoroti hubungan antara Charlie dengan Bee yang meyakinkan dan lumayan menyentuh. Robot tak sekadar menjadi entitas CGI belaka, tapi juga punya kepribadian. Charlie memperlakukan Bee menjadi semacam anjing peliharaan imut berukuran raksasa. Bumblebee akhirnya menjadi film Transformers yang berfokus pada karakter, bukannya mitologi Transformers yang makin lama makin rumit. Jadi, buang tesis anda soal Transformers yang katanya sudah eksis sejak jaman Dinosaurus. Hanya ada dua robot lain yang bakal muncul, yaitu Shatter (Angela Bassett) dan Dropkick (Justin Theroux). Dua Decepticon ini menipu militer Amerika dengan bilang bahwa mereka sedang memburu Bee yang katanya adalah kriminal pelarian.

Klimaksnya tentu saja adalah pertarungan antarrobot. Namun alhamdulilahirobilalamin, kali ini Michael Bay hanya memantau saja dari kursi produser. Sebab, posisi sutradara menjadi milik Travis Knight, animator yang membuat debut memukau lewat animasi stop-motion Kubo and the Two Strings. Namun, alih-alih meledakkan sesuatu setiap satu menit seperti yang dilakukan Bay, Knight memilih mana yang tepat. Saya tak tahu apakah ini dimaksudkan untuk menyindir Bay atau bukan, tapi di sebuah adegan beruntun dimana ada potensi tabrakan mobil yang sensasional, ia berhenti tepat di posisi "nyaris". Saya terkekeh.

Saya mungkin terlalu menikmati nge-roast Michael Bay dalam review ini. Namun, memang setiap sekuens aksi yang disajikannya sangat sulit diikuti oleh indera manusia. Meski begitu, harus diakui pula tak ada yang bisa meledakkan sesuatu seepik Bay. Dalam sebuah wawancara, Knight bilang bahwa ia "tak bisa memberi yang lebih besar daripada Bay", jadi ia memilih "fokus pada sudut kecil dari kanvas [Transformers]". Ya iyalah, sutradara mana pun, tak ada bisa memberi yang lebih daripada Bay. Satu-satunya jalan adalah bergerak ke yang lebih kecil. Kita kehilangan Bayhem, tapi rasanya kita tak sekehilangan itu. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Bumblebee

114 menit
Remaja
Travis Knight
Christina Hodson
Lorenzo di Bonaventura, Tom DeSanto, Don Murphy, Michael Bay, Mark Vahradian
Enrique Chediak
Dario Marianelli

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Review Film: 'Bumblebee' (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel